Dua Minggu di Australia (1):
Catatan Peserta Muslim Exchange Program (MEP) Grup 1 2015
“Bagi orang yang dibesarkan di kampung, luar negeri adalah maju, modern, dan bangunannya tinggi-tinggi.” Bayanganku waktu kecil seperti itu. Luar negeri juga, dalam bayangan saya waktu kecil, adalah: Kristen. Orang-orang Barat, dalam pandangan masa kecil, adalah orang-orang Kristen, persis seperti pertanyaan salah seorang keluarga saya beberapa waktu lalu di Tobelo, sebuah kota kecil di utara Pulau Halmahera, seminggu setelah kembali dari Australia, “Apa ada orang Islam di Australia?”
Catatan ini saya tulis memiliki beberapa tujuan: (1) sebagai kenangan bagi diri saya sendiri bahwa pada bagian tertentu dalam hidup, saya pernah mendapatkan kesempatan berharga untuk melihat negeri tetangga di benua sebelah, (2) sebagai pelajaran untuk anak-anak saya, keluarga, dan teman-teman yang mengenal saya (semoga ada kebaikan yang dapat mereka petik, sekecil apapun, dari tulisan ini), (3) sebagai sarana untuk berbagi pengalaman untuk menjadi inspirasi bagi kita semua. Tulisan ini awalnya ditulis sejak masih di Australia, namun karena padatnya kegiatan membuat saya tidak bisa mempublikasikan segera.
Facebook Berkah di Jumat Pagi
Sebagai muslim saya percaya bahwa tiap hari adalah baik, dan tidak ada hari yang tidak baik. Akan tetapi, hari Jum’at punya posisi lebih ketimbang hari lainnya. Pada sebuah Jum’at pagi di awal Desember 2014, saya membuka Facebook seorang kawan yang tengah mengikuti konferensi di London. Dari situ saya membuka dinding seorang kawannya, dan mendapatkan informasi dibukanya kesempatan bagi muslim muda Indonesia untuk mengirimkan berkas mengikuti seleksi Pertukaran Tokoh Muda Indonesia-Australia di laman Universitas Paramadina. Setelah membaca informasinya, saya merasa tertarik. Di laman itu disampaikan bahwa peserta terpilih akan berkunjung ke Australia selama dua minggu, menjalin people to people contact dengan berbagai lembaga dan komunitas di sana. Satu yang jadi kendala saya adalah: Bahasa Inggris. Syarat minimalnya pelamar harus punya TOEFL minimal 450. Saya pikir, hasil test TOEFL saya (prediction) waktu kursus sebulan di Kampung Inggris, Pare, Kediri, tidak buruk-buruk amat untuk sekedar ikut seleksi berkas.
Saya pun berdiskusi dengan istri. Ia sangat men-support kegiatan ini. Bersama anak saya yang ketiga, Fikri Ihsani, siang itu saya salat Jum’at di Masjid Al Munawwar, Ternate, masjid paling besar dan megah se-Maluku Utara. Setelah Jum’at, saya bertemu H. Muksin bin Syekh Abubakar, ketua Badan Takmir Masjid, dan mengutarakan niat saya untuk ikut seleksi program ini. Beliau pun sangat support, dan berharap ada beberapa orang Ternate yang bisa ikut program ini—paling tidak untuk tahun-tahun yang akan datang.
Terkait dengan rekomendasi, H. Muksin berkata, “Untuk urusan umat, harus disegerakan.” Saya merasa senang, dan jarang-jarang saya mendapatkan support secara lisan dengan kata ‘segera’ dari seorang tokoh masyarakat. Selanjutnya, atas masukan dari Pak Maqbul, pengurus Masjid Al Munawwar yang juga staf di Kantor Walikota Ternate, saya juga mendapatkan rekomendasi dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ternate H. Usman Muhammad, dan berdiskusi dengan beliau di rumahnya.
Untuk kelengkapan berkas, saya juga mendapatkan rekomendasi dari Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat Sinta Yudisia (Terimakasih untuk Mba Yeni Mulati/Afifah Afra dan Lia Octavia), dan Direktur The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Jakarta Pak Hamdan Basyar (Terimakasih untuk Mas Fahmi Salsabila). Berkasnya saya isi dengan lengkap, dengan tambahan dokumen beberapa buku dan kopi artikel saya di beberapa Koran.
Seleksi Wawancara
Di bulan Januari 2015, saya mendapatkan kabar bahwa saya lulus berkas, dan diminta untuk hadir dalam wawancara di Kantor Paramadina Graduate School, The Energy Tower, SCBD, Sudirman, Jakarta. Via telepon, panitianya menyampaikan ke saya bahwa biaya transportasi akan diganti oleh panitia dengan nominal yang cukup untuk ukuran transport PP Ternate-Jakarta, dan hidup sehari di ibukota. Dalam proses wawancara ini, saya sering ditelepon panitia Universitas Paramadina. Panitianya sangat serius, dan profesional.
Kandidat yang ikut wawancara sebanyak 25 orang. Nama-namanya dicantumkan oleh panitia di laman Paramadina. Wawancaranya diadakan dua hari. Saya dijadwalkan hari kedua. Sebelum masuk wawancara, saya dan beberapa kawan disilakan makan siang di sebuah ruangan, samping ruang Ternate. Ternyata ada juga ruang Ternate di kampus Paramadina. “Paramadina sangat menghargai pusat-pusat peradaban Islam Nusantara,” kata seorang stafnya, sehingga beberapa nama ruangan disematkan pada pusat-pusat Islam, termasuk dari luar negeri.
Tiba saat wawancara, Associate Professor Greg Fealy langsung memanggil kita ke ruangan. Seluruh kandidat dipanggil oleh Prof Greg langsung. Saya pikir, ini luar biasa, “Seorang professor sekaligus pimpinan tim wawancara memanggil khusus peserta ke ruang wawancara.” Sebelum wawancara dimulai, Prof Greg menyampaikan beberapa informasi tentang program MEP ini yang katanya merupakan kegiatan unggulan dari AII.
Di tahun 2014, pelamar yang mengirimkan berkas lebih dari 300 orang, yang lulus berkas 25 orang, dan nanti akan dipilih 10 orang yang diberangkatkan ke Australia dalam 2 grup. Saya merasa beruntung bisa masuk 25 besar. Dalam otak saya berpikir, “Dari 300-an peserta ini pasti orang-orang hebat yang kirimkan berkas. Maka, saat kirim berkas saya harus tulis berkas sesempurna mungkin, sebaik mungkin.” Saya juga teringat kata-kata bapak mertua saya, M. Ashri HAR yang sering mengingatkan bahwa dalam berbagai kompetisi, walaupun peminatnya ratusan dan yang diterima hanya 10 orang, yang penting adalah nama kita masuk dalam 10 itu.
Waktu wawancara kuranglebih hanya 25 menit. Pewawancaranya adalah: A/Prof Greg Fealy (The Australian National University), Prof. Julie Howell (University of Western Sydney), Philip Knight (Mantan Dubes Australia untuk Saudi Arabia), dan Rowan Gould (The University of Melbourne). Kata Prof Greg, walau semua juri bisa bahasa Indonesia, tapi akan lebih baik jika kita berbahasa Inggris. Dalam hati saya berkata, “Saya beruntung introduction dalam bahasa Inggris sudah bisa lancar sejak kursus sebulan di Pare.”
Dalam wawancara itu saya diminta menjelaskan tentang kegiatan di lembaga yang saya ikuti, Forum Lingkar Pena (FLP), dan berbagai kegiatan lainnya. Saya juga menjelaskan tentang ketertarikan saya tentang kisah pelaut Makassar yang mencari teripang hingga utara Australia, dan dari pertemuan itu menyebabkan beberapa penduduk asli Australia, orang Aborigin, tertarik dan masuk Islam. Menurut sejarah, inilah mula pertama masuknya Islam ke tanah Australia, yang selanjutnya disusul oleh imigran dari Afghanistan, Lebanon, Turki, dan seterusnya.
Dalam wawancara itu, saya merasa tatabahasa Inggris saya masih kacau-balau, saya sadari itu, dan itu menjadi motivasi yang besar bagi saya untuk terus belajar. Saya pikir, tiap kita awalnya adalah tidak bisa—apapun itu—hingga kemudian kita punya kemauan, kita berusaha, terus belajar, dan akhirnya kita bisa. Jadi, dalam urusan bahasa Inggris, mungkin sama dengan berbagai hal lainnya—termasuk menulis—bahwa kita bisa karena bisa, kita bisa karena kita berusaha.
Persiapan Berangkat
Di tengah isu eksekusi mati dua warga Australia (Myuran Sukumaran dan Andrew Chan), saya mendapat kabar dari Mbak Dewi, Panitia Paramadina bahwa saya lolos seleksi peserta MEP, dan keberangkatannya akan dihubungi langsung oleh Kedutaan Australia. Tiga hari jelang berangkat ke Australia, saya ke Jakarta, dan bertemu ibu Emiraldi, staf bidang Cultural untuk aplikasi visa, dan kebutuhan lainnya di Kedutaan. Untuk visa, kita diminta mengisi sebuah berkas, dan juga diminta mengisi berkas asuransi.
“Yang bagian ini diisi juga, bu?” tanya saya melihat sebuah kotak ‘jika terjadi sesuatu’. “Iya, ini kalau terjadi apa-apa, bisa langsung dihubungi ke nomor ini,” jawab Ibu Emi. Di kotak itu saya tulis nama istri saya: Mutawadhiah dengan nomor teleponnya. Dalam hati saya berdoa, “Ya Allah, semoga selama di sana lancar-lancar dan tidak ada terjadi apa-apa.”
Beberapa teman di Facebook memang mengingatkan tentang efek samping dari berita eksekusi mati dua warga Australia yang bisa jadi akan memancing sentimen anti-Indonesia di sana. Saya juga sempat berpikir seperti itu, tapi saya pikir, di Australia ini banyak orang Indonesia, pelajar kita di sana juga banyak, dan tidak mungkin orang Australia akan bertindak seperti itu, apalagi ini kasusnya narkoba. Namun, berhati-hati adalah kewajiban, buat kita semua, dimanapun kita melangkah. Saya kira itu point intinya.
Selama di Jakarta saya dengan empat kawan lainnya menginap di Citadines Apartment yang satu gedung dengan Rumah Sakit MMC, Rasuna Said, tidak seberapa jauh dari Kedutaan Australia, dan lebih dekat lagi dengan kantor Ombudsman. Panitia memesan dua kamar: Saya sekamar dengan Ahmad Saifulloh, dosen Universitas Darussalam, Ponorogo, dan tiga kawan lainnya (Hindun Anisah, Siti Rohmanatin Fitriani, dan Lenni Lestari) menginap di kamar lainnya.
Pada hari Jum’at, 13 Maret 2015, kami mengikuti briefing di Kedutaan yang dipandu oleh Mba Anindita dan Mba Emiraldi. Dalam pengantar briefing, Alison Purnell (Konselor Kebudayaan, Perwakilan Australia-Indonesia Institute) menyampaikan topik “Introduction to the Australia-Indonesia Institute, MEP and cultural programs” dan Dr. Lauren Bain (Konselor Bidang Politik) dengan topik “Bilateral Relations and Introduction to Islam in Australia.”
“Komunitas Islam di Australia sangatlah majemuk. Di Sydney didominasi oleh muslim asal Lebanon, sedangkan Melbourne oleh muslim asal Turki,” kata Lauren Bain. Agama Islam, lanjut Lauren Bain, merupakan agama yang paling cepat berkembang di Australia.
Setelah briefing dilanjutkan dengan sesi rekam video sebelum keberangkatan tentang latar belakang aktivitas, kenapa bergabung dan rencana-rencana setelah mengikuti MEP, dan persepsi tentang Australia dan Islam di Australia. Selanjutnya sesi foto oleh Mas Sulis Indiarto (Project Officer bidang kebudayaan).
Setelah briefing, berlima kami bersepakat untuk mencari souvenir atas nama grup 1 yang nanti diberikan kepada lembaga dan individu di Australia. Awalnya kami ke Percetakan Subur di Setiabudi Building buat kartu nama, tapi di sana tidak melayani desain, hanya cetak, sedangkan kami perlu kartu nama berbahasa Inggris yang pastinya harus di-desain dulu. Kami pun ke Blok M Square mencari tempat kartu nama, dan plakat, tapi harganya mahal. Akhirnya tercetus ide syal polos saja yang dibordir. Akhirnya, kita mencari syal. Pesan ke penjualnya. Malamnya penjual bilang syal tidak ada, adanya yang sepakbola dengan nama klubnya. Sempat putus harapan. Tapi didetik terakhir, akhirnya, syal itu dapat juga.
Keesokan harinya, dari siang sampai malam saya di Blok M Square untuk berbagai kegiatan, termasuk menunggu bordiran syal dengan tulisan: MEP 1 2015. Blok M Square adalah tempat yang tidak asing bagi saya, karena sejak 1993-1999 kalau libur saya main ke situ, dan berlama-lama baca buku di sebelahnya, Gramedia Blok M.
Minggu 15 Maret 2015 merupakan pengalaman berharga bagi saya. Ini pengalaman pertama saya ke luar negeri. Duduk di bagian kursi nomor tiga dari kiri tengah, saya mencoba menikmati perjalanan dengan tujuan ke Melbourne transit via Sydney. Malam itu Qantas QF 42 membawa kami meninggalkan Jakarta. Sebelum berangkat, saya lihat pramugari dan pramugaranya ramah-ramah. Mereka tidak begitu muda memang, tapi terlihat berorientasi melayani penumpang dengan baik. Beberapa di antaranya terlihat humoris.
“Need coffee or tea?”
“Of course, coffee. Coffee is my life!” kata saya.
Pramugari itu tertawa saja mendengar ‘coffee is my life’ sambil menyediakan secangkir kopi, dua gula, dan tak lupa sebuah senyuman manis.
Akhirnya, setelah baca doa dan mengulang-ulang beberapa ayat pendek, saya mendengarkan lagu-lagu merdu pengantar tidur. “Ini sekaligus belajar bahasa Inggris,” batin saya. *
Keren. Diblik keyakinan ad jaln yg trbka lebar