Oleh Boim Lebon
Penulis buku komedi remaja satire Si Nyak dan Janji Ibrohim
Menurut saya, penulis itu makhluk yang keren, kuat, hebat dan memikat. Ya, soalnya mereka itu bisa berjam-jam kuat menulis tentang kesepian, tetapi begitu ketemu teman sesama penulis, langsung bisa curhat sebagai pribadi-pribadi yang hebat, kuat, dan memikat!
Ya, begitulah kira-kira suasana yang saya rasakan ketika menghadiri pertemuan Munas Forum Lingkar Pena 6 di Surabaya, Jumat, 17 Oktober 2025 – 19 Oktober 2025 lalu di Gedung Balai Besar Penjaminan Mutu Pendidikan (BBPMP) Surabaya.
Hari di saat-saat Munas itu panasnya Surabaya seperti biasa: tebal, pekat, dan agak menindas. Bahkan info dari Mbah Google, panasnya Surabaya dapat digambarkan sebagai panas menyengat yang disebabkan oleh kombinasi posisi matahari yang berada di titik kulminasi (tepat di atas wilayah) dan minimnya awan, sehingga radiasi matahari terasa lebih kuat. Selain itu, kondisi kota yang padat dan terjadinya fase pancaroba, turut memperparah kondisi, di mana suhu udara bisa mencapai 36 derajat C!
Saya yang selama di Surabaya mengendarai sepeda motor dari penginapan ke Gedung BBPMP dan sesekali berkeliling kota Surabaya, bisa merasakan secara langsung rasa panas itu. Oh ya, selama tiga hari saya mengendarai sepeda motor. Di hari pertama dapat pinjaman sepeda motor dari Mas Bahtiar HS, di hari kedua dapat pinjaman sepeda motor dari Mbak Nurul Khana (panitia seksi dokumentasi), dan hari ketiga dapat pinjaman sepeda motor dari Mbak Atik Masyani yang rumahnya dekat banget sama lokasi acara Munas. Nah, rasa panas itu bahkan masih terasa sampai saya dan istri sudah masuk peron kereta api ketika menuju Jakarta.

Tapi syukur alhamdulillah, begitu masuk ruangan Munas, aroma khas pertemuan penulis langsung terasa dan otomatis menghilangkan rasa panas: campuran wangi parfum peserta dan jernih serta segarnya imoniq_mineralwater dan keharuman produksi peaujeunebeaute, juga baunya kertas, baunya HP yang lagi di-charge dan laptop yang mulai nge-hang, serta kecemasan tentang naskah yang belum selesai.
Saya melihat dan merasakan peserta yang tersenyum sambil sibuk mengurai sinopsis. Ada yang sibuk menulis puisi di HP (yang entah benar-benar puisi atau chat ke mantan), dan ada yang diskusi serius tentang “masa depan organisasi” yang kesemuanya nyatu kayak adonan beraroma sedap yang bikin hawa panas menguap entah ke mana.
Surabaya, kota yang terkenal dengan logat blak-blakannya, ternyata cocok sekali jadi tuan rumah. Di kota ini, kata-kata tidak pernah malu untuk jujur. Mungkin itu sebabnya, FLP memilih Surabaya sebagai tempat berkumpulnya para anggota dari berbagai daerah untuk membicarakan masa depan organisasi — masa depan yang kadang terasa seperti novel panjang: banyak revisinya.
“FLP ini bukan cuma wadah nulis, tapi wadah tumbuh,” kata salah satu penulis yang berpapasan di koridor dengan gaya oratoris yang bikin saya hampir percaya kalau menulis bisa menurunkan suhu Surabaya. “Kita harus berpikir tentang keberlanjutan, regenerasi, dan relevansi!” lanjutnya. Saya setuju banget dengan ungkapan aktivis muda itu.
Surabaya juga unik. Kota ini punya semangat yang beda dari kota-kota lain — keras, tapi hangat. Seperti teh panas yang disajikan tanpa sendok: kita harus siap mengantisipasi, apakah mau langsung diminum atau nunggu adem. FLP di Surabaya juga begitu. Mereka tidak hanya bicara soal sastra, tetapi juga soal aksi nyata: bagaimana tulisan bisa berdampak bagi masyarakat.

Saya sempat ngobrol dengan beberapa anggota FLP. Ada yang guru, ada yang mahasiswa, ada yang ustaz, ada juga ibu rumah tangga yang menulis di sela mencuci piring. Semua punya cerita.
“Kalau bukan kita yang nulis cerita sendiri, nanti orang lain yang nulis dan belum tentu punya misi yang benar,” kata salah satu anggota, sambil menatap serius ke arah jendela — entah sedang memikirkan literasi atau mengendus bau rawon.
Dari obrolan-obrolan spontan itu, saya sadar, FLP bukan sekadar kumpulan orang yang doyan menulis. Mereka ini para penjaga cerita — semacam super hero literasi, tapi tanpa kostum ketat dan efek CGI.
Mereka berjuang agar kata-kata tetap hidup, agar anak-anak muda tidak hanya sibuk scroll TikTok, tapi juga menulis sesuatu yang bisa bikin dunia sedikit lebih baik. Atau minimal, bikin pembaca tersenyum.
Sesi diskusi dimulai, tetapi suasananya santai. Seseorang bahkan membawa kipas mini portable dan menawarkannya ke teman di sebelah sambil bilang, “Ini kontribusi nyata untuk mengurangi panas debat.”
Topik-topik yang dibahas bervariasi: mulai dari bagaimana menjaga idealisme di tengah arus media sosial, sampai bagaimana bikin kegiatan FLP tetap menarik untuk generasi yang lebih suka nulis caption Instagram ketimbang cerpen.
Semua tertawa, tetapi di balik tawa itu, ada kesadaran penting: zaman sudah berubah. Dulu, penulis berjuang menerbitkan buku cetak. Sekarang, penulis berjuang agar tulisannya dibaca lebih dari tiga detik sebelum pembaca di-scroll ke video kucing lucu.
Namun itulah hebatnya FLP. Mereka tidak menolak perubahan. Mereka malah mencoba menulis ulang masa depan dengan gaya baru — tanpa kehilangan idealisme.
Karena di tengah tumpukan algoritma dan trending topic, selalu ada ruang untuk tulisan yang jujur, yang menyentuh, dan yang berasal dari hati.
Di sela acara, seperti biasa, di deret belakang, saya melihat beberapa anggota sedang tertawa sambil membandingkan gaya menulis masing-masing.
“Aku suka gaya realis, yang bikin posisi alis tambah manis,” kata teman FLP dari seberang pulau.
“Kalau aku, lebih ke absurd. Kayak hidupku,” jawab satunya lagi.
Seseorang menimpali, “Aku suka humoris, karena dengan membawa karya humor seperti tulisannya Boim Lebon, bisa bikin panjang umur dan panjang isi dompet! Hehe”
Suasana jadi hangat. Saya mulai merasa, mungkin inilah kekuatan FLP. Bukan hanya karena mereka suka menulis, tapi karena mereka suka mendengarkan satu sama lain. Di sini, ide bukan untuk diadu, tetapi untuk dirawat.
Pikiran yang mengalir membuat obrolan makin liar. Ada yang membahas kenapa ide selalu datang saat ngopi, saat gosok gigi, saat mandiin anak di kali, ada juga yang curhat tentang naskah yang ditolak seperti cintanya pada sang mantan, dan ada yang sibuk mencatat kutipan bagus buat status WhatsApp nanti malam.
Seseorang bahkan bilang, “Kalau FLP bikin warung kopi, pasti menunya panjang — dan semua nama menunya ada metafora.”
Bukan rahasia lagi, banyak penulis besar lahir dari FLP. Di Surabaya, semangat itu terasa lebih hidup. Ada semacam energi “Arek Suroboyo” yang bikin setiap anggota yakin: kata-kata tidak boleh diam. Mereka harus bergerak, menginspirasi, bahkan kalau perlu — menegur.
Saya mendengar cerita tentang kegiatan literasi di kampung, pelatihan menulis untuk anak muda, dan program kolaborasi dengan sekolah-sekolah. Semua dilakukan dengan semangat gotong royong.
Di kota ini, menulis bukan cuma hobi; menulis adalah bentuk perlawanan terhadap lupa.
Salah satu peserta dari Surabaya bahkan berkata dengan logat khasnya, “Kita ini pejuang kata, Rek! Bedanya, kita nggak bawa bambu runcing, tetapi pena dan laptop!”
Saya mengangguk dalam hati. Menulis di zaman sekarang butuh keberanian — keberanian untuk jujur, konsisten, dan untuk tetap percaya meski kadang pembaca tinggal dua orang: kita sendiri dan ibu kita.
Menjelang sore, matahari Surabaya mulai miring ke barat. Udara panasnya sedikit melunak, meski tetap bikin dahi berkeringat. Diskusi mulai ditutup. Bukannya bubar, para peserta malah masih sibuk foto-foto, saling tukar buku, dan janji akan kirim naskah ke grup dan penerbit Indiva.
Saya sengaja mojok, sambil menikmati pentol haji gundul yang disiapkan panitia, dan berpikir: FLP ini seperti rumah bagi para perantau kata. Siapa pun bisa datang, bercerita, dan diterima tanpa dihakimi. Di sini, menulis bukan sekadar soal hasil — tapi perjalanan.
Di sini, kegagalan naskah dianggap pelajaran, dan keberhasilan teman dianggap kemenangan bersama.
Surabaya hanya jadi tempat, tetapi semangatnya — semangat pantang menyerah, semangat ngomong terus terang, semangat berjuang bareng — itulah yang bikin FLP terus hidup.
Mungkin inilah yang disebut roh literasi: bukan pada kertas dan tinta, tetapi pada hati orang-orang yang percaya bahwa kata-kata masih bisa menyelamatkan sesuatu — meski kecil.
Sebelum pulang, seseorang menepuk bahu saya, “Mas Boim, jangan lupa ya, terus semangati aku dengan cerita-cerita lucumu. Oh ya, aku pesan satu buku terbarumu Si Nyak dan Janji Ibrohim yang katanya cerita lucu, seru, dan penuh haru itu. Beri aku kata-kata menohok dan tanda tanganmu.” Saya tersenyum.
Di perjalanan pulang, saya berpikir, ternyata menjadi bagian dari FLP bukan soal seberapa banyak karya yang diterbitkan, tetapi seberapa tulus kita menjaga semangat menulis — semangat berbagi cahaya di tengah kebisingan!
Surabaya, dengan segala panas dan blak-blakannya, menjadi saksi bahwa semangat itu masih ada. Bahwa para penulis muda dan tua, dari berbagai daerah, masih mau duduk bersama, berdiskusi, bercanda, bahkan berdebat — demi satu hal sederhana: agar kata-kata tetap menyala!
Dan mungkin, kalau nanti sejarah menulis ulang kisah literasi Indonesia, Surabaya akan disebut bukan hanya sebagai “Kota Pahlawan”, tetapi juga “Kota yang Menyulut Api Kata-Kata.”
Karena di kota ini, bahkan kalimat pun berani bersuara lantang!

