Rabu, Maret 27Literasi Berkeadaban - Berbakti, Berkarya, Berarti


Islamic Popular Literature (Ispolit), Sebuah Negosiasi Budaya | M. Irfan Hidayatullah

BANDUNG, FLP.or.id — MEMANG, pengategorian atau pengotakan sastra selalu memancing perdebatan, tetapi hal itu susah sekali dihindari. Ada beberapa hal yang membuat pengotakan itu beralasan. Pertama, sastra sebagai produk pengarangnya. Kedua, sastra sebagai model representasi. Ketiga, sastra sebagai produk industri. Terakhir, sastra sebagai sebuah alat negosiasi.

Begitulah, empat faktor tersebut berjalinan menyatu pada identitas kekaryaan. Oleh karena itu, sebuah karya sastra akhirnya harus disadari bukan hanya sebagai sebuah wujud seni yang berbahan bahasa. Semua sisi pada kehadirannya adalah identitas, bahkan sampai pada tampilan cover dan kata-kata pendukungnya. Jadi, pengidentitasan sebuah karya sastra oleh pembaca atau kritikus adalah semacam upaya pemetaan dari sebuah langkah kreasi yang tak ada hubungannya dengan niat pengarang dalam menuliskannya.

Begitulah, label sastra islam, sastra islami, sastra sufi, sastra profetik, sastra koran, sastra wangi, sastra buruh, dan sastra-sastra lainnya akan bermunculan, karena sebuah proses pengidentitasan tersebut. Dan hal tersebut bukan lantas mengacaukan kemurnian dunia kreatif kesusastraan, karena sekali lagi tak ada hubungan antara pelabelan dengan proses kreatif sastrawannya.

Saya sendiri kemudian mendeklarasikan sebuah istilah, yaitu Ispolit (Islamic Popular Literature).

Betul, mungkin karena sejak tahun 2000 saya bergelut di komunitas Forum Lingkar Penalah saya menyimpulkan, ada karya sastra yang beridentitas populer islami. Alasan saya memunculkan istilah ini muncul setelah saya berpikir tentang empat aspek alasan pelabelan dan mengujikan berbagai karya di dalamnya. Aspek-aspek tersebut, pertama, sastra sebagai produk pengarang. Pada aspek ini, saya menemukan satu sumber gerak para pengarang Ispolit, yaitu aktivisme Islam. Majalah Annida sebagai ruang kreasi para penulis Ispolit dengan jelas-jelas mengusung dakwah Islam sehingga karya-karya yang bertolak belakang dengan visi tersebut terseleksi. Bahkan, Annida secara berkala mengadakan Lomba Menulis Cerita Pendek Islami (LMCPI). Selain itu, setelah kontributor penulis cerpen Annida terkumpulkan dalam sebuah komunitas bernama Forum Lingkar Pena (sejak 1999), semakin jelas kesamaan visi media dengan penulisnya.

Novel pertama yang terbit dan mengawali Ispolit adalah Pingkan karya Muthmainnah alias Maimon Herawati yang juga salah seorang pendiri FLP. Adapun cerpen yang populer pada generasi pertama ini adalah, “Ketika Mas Gagah Pergi” karya Helvy Tiana Rossa. Keduanya diterbitkan oleh penerbit Asy-Syaamil (penerbit pertama yang menyokong pergerakan Ispolit). Setelah itu, muncullah pengarang-pengarang lainnya yang senapas. Di antaranya, Izzatul Jannah, Asma Nadia, Muthi Masfuah, Sakti Wibowo, Afifah Afra Amatullah, Nurul F. Huda, Novia Syahidah, Sinta Yudisia, dan Agustrianto.

Semua karya Ispolit tersebut lahir dari pengarang yang memiliki visi yang relatif sama, yaitu dakwah lewat tulisan. Dan memang, latar belakang semua pengarang tersebut adalah di lembaga-lembaga dakwah baik sekolah, kampus, maupun perusahaan bervisi Islam. Hal ini kemudian dikukuhkan pada AD-ART FLP yang menjadikan Islam sebagai asas. Begitulah, Ispolit, terus diproduksi sampai saat ini. Di antara semuanya yang kemudian booming adalah Ayat-ayat Cinta karya Habiburrahman El-Shirazi (mantan ketua FLP Mesir) yang sekarang menjadi pengurus di Badan Pengurus Pusat FLP.

Kedua, sastra sebagai model representasi. Lewat aspek kedua inilah Ispolit lahir. Yang saya maksudkan dengan model representasi adalah aspek pragmatik. Lewat analisis penikmat sastra alias pembaca sebuah karya sastra bisa terlihat identitasnya.

Majalah Annida akhir tahun 90-an adalah majalahnya para anak rohis dan mahasiswa aktivis Muslim. Lewat pintu itulah Annida menyebar dan menemukan pembaca yang semakin meluas, tetapi akar utamanya adalah remaja aktivis Islam. Begitu pun setelah Ispolit disambut baik oleh penerbit pembaca utamanya semakin merasa terwakili. Cerpen dan cerbung terbaik Annida dan Ummi kemudian diterbitkan oleh Pustaka Annida dan penerbit lainnya.

Masyarakat yang merasa terwakili oleh karya-karya tersebut tentu saja menyumbang identitas bagi karya tersebut. Semakin hari semakin meluas memang, apalagi setelah booming-nya Ayat-ayat Cinta. Itu semua, sebuah keberhasilan rintisan dakwah lewat Ispolit sejak akhir 90-an. Semakin banyaknya pembaca yang merasa terepresentasikan memang akan semakin plural dan menyumirkan identifikasi sehingga pada akhirnya ada beberapa kategori pembaca, pembaca yang representatif dan pembaca yang ternegosiasi.

Ketiga, sastra sebagai produk industri. Ispolit lahir saat berbagai aspek kehidupan mulai bebas dilakukan. Ispolit lahir setelah tumbangnya Orde Baru. Ispolit lahir saat reformasi bergulir, bahkan ikut menggulirkan reformasi. Ispolit lahir saat berbagai aspek kehidupan secara bebas diislamisasi. Perbankan syariah, pendidikan Islam terpadu, Parpol berasaskan Islam, penerbit-penerbit Islam, dan sebagainya. Jadi, Ispolit lahir saat budaya literasi juga berusaha diislamisasi. Oleh karena itu, istilah islami bukan berdiri sendiri pada karya sastra yang saya canangkan, tetapi memang kondisi industri penerbitan pun berada pada jargon dan jalur tersebut.

Berkibarnya Asy-Syamil yang kemudian berubah menjadi Syaamil dan sekarang Penerbit Sygma Arkan Leema adalah berada pada ruang tersebut yang kemudian diikuti oleh penerbit-penerbit lain yang memberi peluang pada para penulis Ispolit. Di sana ada Mizan, FBA Press, Era Intermedia, Pustaka Annida, Gema Insani Press, Zikrul Hakim, LPPH, Senayan Abadi, Republika, dan masih banyak lagi. Adapun kemudian penerbit yang bukan bervisi Islami kemudian mendirikan lini fiksi Islami adalah fenomena akhir-akhir ini. Tentu saja setelah melihat peluang kapital yang lumayan. Akhirnya Gramedia, Gagas Media, dan yang lainnya ikut membuka lini tersebut. Di sinilah negosiasi dimulai.

Keempat, sastra sebagai alat negosiasi. Poin keempat ini adalah poin puncak dan terpenting karena pada titik inilah sebuah identitas mendasar terlihat. Sastra yang dilabeli sesuatu pada dasarnya menegosiasikan label tersebut. Sastra wangi semestinya menegosiasikan aspek ketubuhan, sastra islami, berarti di dalamnya terdapat negosiasi nilai-nilai Islam disadari atau tidak disadari oleh penulisnya.

Untuk Ispolit hal-hal yang dinegosiasikan tidaklah terlalu sulit dicari. Tentu saja karena sifatnya yang populer. Dan hal inilah yang kadang menjadi kritikan pedas bagi para penulisnya bahwa mereka terlalu verbal bernegosiasi bahwa mereka sedang menulis karya sastra bukan sedang berkhotbah dan sebagainya.

Kejelasan unsur-unsur negosiasi inilah yang justru menjadi citra utama. Justru jika negosiasi itu semakin tersembunyi dan susah dilacak, bukan lagi Ispolit. Adapun mengenai bagus tidaknya sebuah negosiasi dikemas itu adalah hal lain. Jadi, selama negosiasi ini masih ada, selama itu pula istilah Ispolit masih bisa dipertahankan. Oleh karena itu, para penulis Ispolit yang masih konsisten mereka bukan menurunkan isi negosiasinya, tetapi meningkatkan atau mendewasakan cara bernegosiasi.

Sastra populer islami adalah sebuah jenis karya sastra populer yang keberadaannya harus dipertahankan. Bukankah dengan berkarya sastra umat Islam akan kreatif dalam berwacana. Namun, ada sebuah ancaman bagi keberadaan Ispolit dan sifat-sifatnya. Itulah pasar. Dialah budaya massa. Adalah banalitas.

Ya, kecenderungan ke arah tersebut sudah sangat jelas terjadi. Ketika penulis telah mengikuti tawaran bukan menawarkan, saat penerbit Islam mengikuti arus bukan memperbarui kreativitas, saat kuantitas dan kapital menjadi dewa, saat euforia keberhasilan menjadi penyakit hati, saat itulah nilai-nilai yang dinegosiasikan akan menjadi ironi. Saat itu pulalah label Islami dipertanyakan.

Memang budaya pasar memungkinkan adanya epigonisme. Oleh karena itu, para penulis Ispolit harus segera membuat kreasi baru. Saat Ayat-ayat Cinta meledak, hampir semua produk serupa dengannya, hampir semua penerbit memesan karya kepada penulis dengan syarat kesamaan dengan AAC. Dan bila Ispolit terjebak pada simulakrum industri tersebut, negosiasi yang dilakukan telah sangat banal dan tak menyentuh lagi. Wallahu`alam.

Pertama kali dimuat di Pikiran Rakyat, Sabtu, 22 Maret 2008.

Sumber: KaryaFLP.net

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pin It on Pinterest

Share This